Disuatu sore hari pada saat aku pulang sekolah dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecilyang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang 10 tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah di perempatan jalan
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut, ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang Koran, penyapu jalan, tuna wisma sampai pak polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah ia berjualan? “Kalau ia berjualan, apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…………????
Untuk membunuh rasa penasaranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai disebrang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang. “De, boleh kakak bertanya?”
“Silahkan kak.”
“Kalau boleh tau, yang barusan adik bagikan ke tukang Koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa?”
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk pauk kak, memang kenapa kak?” dengan sedikit heran, sambil ia balik bertanya.
“Oh tidak, kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?” Lalu adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu, aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang,dan seperti kakak ketahui, hidup di dunia begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan, waktu malam hari kami kedinginan, ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat sedih, namun setelah ibuku membuka warung nasi, kahidupan keluarga kami mulai membaik.
Maka dari itu ibuku selalu mengingatkanku bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.
Yang ibuku selalu katakan “hidup itu harus berarti buat banyak orang” karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tak ada yang kita bawa . Hanya satu yang kita bawa yaitu kasik kepada sesame serta amal dan perbuatan baik kita. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa harus kita tunda. Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, “Apa yang kita bawa?”.
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya dibandingkan adik kecil ini.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pengetahuan yang aku punya, namun untuk hal seperti ini aku merasa bodoh dari anak kecil ini. Aku malu dan sangat malu. Ya Tuhan.. ampuni aku.. ternyata kehebatan dan pengetahuan tak mengantarkan aku pada-Mu.
Hanya kasih yang sempurna serta iman dan pengharapan kepada-Mulah yang dapat mengiringku masuk ke surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat kecil yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.
(Kasih itu sabar. Kasih itu murah hati. Ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia Menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung sagala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.)
Lakukanlah perkara-perkara kecil dengan membagikan cerita ini kepada semua orang, semoga hasil yang didapat dari hal yang kecil ini berdampak besar buat banyak orang.